Flash Magazine

Jumat, 01 Mei 2009

Sekali Merdeka Tetap Merdeka

Saatnya Memerdekakan Orang Lain

Setelah 61 tahun merdeka, ternyata masih banyak lho rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan. Apa yang bisa kamu lakukan?

Apa arti kemerdekaan bagi kamu? Masing-masing orang tentu punya jawaban beragam. Sebagai generasi muda yang menjadi bagian dari bangsa yang terus berjuang dan memperbaiki diri, kita emang mestinya bisa sedikit bangga lantaran setelah merdeka, kita bisa melakukan apa saja dengan lebih mudah. Jauh lebih muda ketimbang generasi muda zaman dulu.

Contoh yang paling mudah saja, kita bisa sebut tentang sarana telekomunikasi. Dulu, boro-boro ada internet. Yang namanya telepon rumah saja masih menjadi barang langka. Dalam perkembangannya kemudian, kita semua bisa menikmati telepon seluler bahkan internet telah masuk ke sebagian kehidupan kita.

Soal kebebasan berbicara, sejarah juga telah merubah segalanya. Kalo dulu ngomong soal politik masih terbilang tabu dan hanya bisa dilakukan di forum-forum tersembunyi, sejak reformasi masyarakat bisa bicara apa saja. Imbas reformasi juga merambah ke mana-mana. Berbagai organisasi bermunculan di mana-mana, karena media massa, baik cetak maupun elektronika, baik yang dikelola secara profesional maupun asal-asalan, tumbuh di mana-mana.

Lantas, inikah arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Kalau dilihat di Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun WJS Poerwadarminta, merdeka berarti bebas dari perhambaan, penjajahan, dan lain sebagainya. Setelah bangsa kita 61 tahun merdeka, benarkah kita telah benar-benar merdeka? Apakah merdeka itu berarti yang penting kita bebas mengutarakan pendapat atau berperilaku tanpa melihat efeknya ke orang lain? Benarkah kita telah sebenar-benarnya merdeka lantaran kita telah dapat melakukan apa saja yang kita suka?

Titi Kamal, seorang pesinetron yang lagi naik daun, ternyata punya pandangan tersendiri tentang kemerdekaan. Artis yang pernah membintangi film Mendadak Dangdut ini berujar bahwa kemerdekaan adalah ketika orang tak lagi dibelenggu oleh rasa takut dan dibelenggu oleh kekuatan lain. Di dunia sinema, menurut Titi, ia masih melihat ada beberapa pelaku yang masih belum merdeka dalam menciptakan film-film bermutu. Alasannya, “Ada yang takut lantaran filmnya akan memancing kontroversi dan dikecam pihak lain, tapi ada juga yang membuat film yang semata-mata mengejar tuntutan pasar tanpa mempedulikan kualitas,” kata Titi. “Ini juga gua rasa belum merdeka,” tambahnya.

Meski pemahaman tentang kemerdekaan sangat beragam, yang pasti untuk menjadi bangsa atau pribadi yang merdeka, tentu diperlukan perjuangan. Di sini diperlukan sikap kepahlawanan, yaitu kesediaan atau kerelaan berkorban untuk orang lain atau negaranya sendiri. Kini, meski telah merdeka, kita masih membutuhkan pahlawan yang rela berkorban demi kepentingan rakyat banyak.

Atau, ketika kamu menjadi bagian dari gerakan yang memperjuangkan kemajuan bangsa supaya tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain, bisa juga disebut pahlawan. Dalam konteks kini, pahlawan tentu tak harus dikonotasikan dengan perang, memanggul senjata dan bertempur di medan laga. Pahlawan adalah seorang hard worker, pantang menyerah, rajin belajar, dan tidak mementingkan diri sendiri. Berbagi perhatian kepada orang lain demi kemajuan mereka, juga bisa disebut sebagai seorang pejuang.

Dalam konteks ini apa yang dilakukan Drevi Hosea Kurniawan, mahasiswa Manajemen STIEBI 2003 dan teman-temannya bisa menjadi inspirasi bagi kita untuk berbuat sesuatu bagi orang lain. Di balik penampilannya yang terkesan “seenak jidatnya sendiri”, ternyata Rif, panggilan akrabnya, mempunyai empati yang sangat tinggi bagi anak-anak gelandangan di kawasan Kebon Nanas Jakarta Timur. Sejak dua tahun terakhir, Rif dan saudaranya, Peter mendirikan sekolah darurat yang dinamakannya “Home Schooling” untuk para anak jalanan. Di tengah-tengah tumpukan sampah yang bau serta ditimpa sengatan matahari yang panas, Rif dan Peter mau meluangkan waktu untuk mengajar anak-anak jalanan agar mereka bisa membaca dan menulis. (Kisah selengkapnya tentang Rif dkk bisa kamu baca di Cover Story).

Apa yang dilakukan oleh Rif, Peter dan kawan-kawan serta mungkin dilakukan oleh anak-anak muda lainnya, tentu tak serta merta bisa mengubah keadaan. Tapi paling tidak, jika langkah yang mereka lakukan kemudian dilakukan oleh remaja lain dan lama-lama menjadi sebuah gerakan, kita mesti layak optimis bahwa ke depan, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang lebih maju. Tak ada lagi kemiskinan di tengah ingar-bingar dan gemerlap kemewahan kota. Tak ada lagi anak-anak yang terpaksa mengemis atau mencuri sandal hanya sekadar untuk mengisi perut yang lapar.

Sudah 62 tahun Indonesia merdeka, tapi gerakan untuk memerdekakan rakyat dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan harus senantiasa digalakkan.

Boks:

Mereka Bicara tentang Nasionalisme dan Perjuangan

Andrupratama Hutomo

Cowok yang saat ini lagi kuliah tahun ke-2 di Uni Tuebingen, Jerman ini semangat sekali waktu ditanya seputar nasionalisme dan perjuangan. “Perjuangan itu bisa membela serta berkorban demi bangsanya!” sahut Andru (begitu ia biasa dipanggil). Ia juga menambahkan, “nasionalisme itu timbul dari pribadi kita sendiri. Yaitu sikap yang peduli, cinta, sayang dan bangga terhadap negerinya!.”

Siapa sangka kalo cowok yang baru berumur 21 tahun ini menunjukkan sikap nasionalismenya dengan membuat stasiun radio sendiri sejak tahun 2004, yang dinamai Qommunity Radio Network International. Coba aja cek di site-nya: www.qommunityradio.net, nggak tanggung-tanggung, siaran radionya ini bisa didengar di sebagian besar negara-negara Benua Eropa lho! Studio 1 bermarkas di apartment Andru di Jerman, dan dengan bantuan teman-temannya, ia pun melebarkan sayap dengan membuka studio 2 di Mesir, Kairo.

Wuiiih, canggih juga ya! Bisa dibilang perjuangan dan nasionalisme Andru untuk negara kita supaya dikenal negara lain tuh tinggi banget..! Salut deh buat CEO muda kita ini! Keren keren keren.. (Citra/Flash)

Sari Rahayu

“Perjuangan itu suatu sikap yang harus dimiliki oleh setiap orang untuk mencapai sesuatu yang dia inginkan.” Nggak heran ketika hasil pengumuman kelulusan SMA kemarin, Sari sangat bangga dengan nilai yang ia peroleh. Karena selama hampir 6 bulan ia berjuang mati-matian mempersiapkan diri dengan belajar dan belajar.

Berbagai macam guru privat pun dipanggil ke rumah supaya ia bisa semangat menghadapi UAN. Saat itu ia mempunyai target supaya bisa lulus SMA dengan hasil memuaskan. Betul saja, ia memperoleh nilai cukup tinggi di pelajaran Bahasa Inggris: 9,2 dan Matematika: 9,0. Dan saat ini target selanjutnya pun ingin menjadi mahasiswa di Universitas Indonesia dengan jurusan Public Relation.

Sikap nasionalismenya pun sering ia praktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Cewek yang suka sekali berorganisasi ini ternyata memiliki rasa cinta tanah air yang cukup tinggi. Terbukti di kamarnya terdapat bendera Indonesia yang cukup besar menghiasi dinding kamarnya. Wuih boleh juga idenya, cinta tanah air sekaligus untuk aksesoris di kamar.. (Citra/Flash)

Adimas Tito

Setelah lulus dari SMA Seruni Don Bosco, Pondok Indah, Tito (panggilan akrabnya) sempat melanjutkan kursus Bahasa Jerman di Goethe Institut. Keinginannya untuk melanjutkan kuliah di negara Hitler itu begitu kuat. Bukan karena ia tidak punya semangat nasionalisme, tapi justru karena keinginannya agar Indonesia layak disejajarkan dengan negara-negara maju lainnya.

“Nasionalisme itu biasanya mudah sekali terkena manipulasi dari pihak-pihak luar yang ingin menghancurkan nasionalisme itu sendiri”, tegas Tito. Oleh karena itu, ia ingin sekali bisa “mengambil” sedikit pelajaran dari negara maju seperti Jerman yang rakyatnya sangat menjunjung tinggi nasionalisme bangsanya.

Tito juga menambahkan, “perjuangan itu suatu usaha untuk mempertahankan hak-hak yang sudah seharusnya menjadi milik kita. Kita pun harus menghargai jerih payah pejuang kita dengan selalu menjaga apa yang sudah kita dapat dari pejuang-pejuang kita, yaitu kemerdekaan!” sahutnya semangat. Oke banget ya semangatnya Tito! Semoga cita-cita Tito untuk menjadikan Indonesia lebih maju bisa tercapai suatu saat nanti. (Citra/Flash)

Eva Prima Wardhani

Cewek 18 tahun yang kesehariannya disapa Iput ini ternyata jagoan kartu Minibridge lho.. Minibridge itu sejenis olahraga otak. Permainan ini merupakan tahap awal dari permainan kartu Bridge. "Jadi kalo mau belajar main Bridge biasanya belajar dari Minibridge dulu. Pertama kali aku kenal sama Bridge ini dari almarhum kakek aku. Beliau mantan atlet Bridge nasional, dan juga mantan ketua GABSI (Gabungan Bridge Seluruh Indonesia).

“Sejak itu aku jadi sering ikut pertandingan," kata Iput semangat. Iput menjelaskan kalau nasionalisme itu perasaan cinta tanah air, dimana akan selalu support untuk kemajuan negara baik dalam bidang politik, ekonomi, budaya, olahraga dll. Rasa nasionalismenya itu pernah ia salurkan ketika ia bertanding sampai tingkat nasional.

Perjuangan bertanding untuk selalu menjadi yang terbaik merupakan cita-cita Iput selanjutnya agar bisa mengharumkan nama Indonesia di tingkat Internasional dan juga untuk sang guru, kakek tercinta. (Citra/Flash)

posted by Flash Magazine at 01.09

0 Comments:

Posting Komentar

<< Home